Banyumas merupakan sebuh wilayah yang didirikan oleh Raden Joko Kaiman yang biasa dipanggil juga dengan Adipati Mrapat. Kenapa dipanggil Adipati Mrapat sebab dulunya Banyumas itu hanya terdiri dari satu kadipaten yaitu Kadipaten Wirasaba, pada saat itu Raden Joko Kaiman diutus ke Pajang dan dikatakan mendapat anugrah lalu dibagikan kepada saudara saudaranya, setelah itu beliau membagi Kadipaten Banyumas menjadi empat yaitu Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap, kabuaten Purbalingga, dan Kabupaten Banjarnegara sehingga setelah itu dijuluki sebagai Adipati Mrapat. Kepergian Raden Joko Kaiman di Pajang diperingati sebagai hari jadi Banyumas yang dilakukan pada 22 februari 1571 seperti yang tertulis dalam naskah Kalibening. Sebelumya hari jadi Banyumas dilakukan setiap taggal 6 april berlandaskan pada batu nisan Raden Joko Kaiman yang tertulis 6 april 1582 dan akhirnya diganti menjadi 22 februari karena tanggal yang tertulis di batu nisan tersebut merupakan hari wafatnya sedangkan beliau memulai memimpin banyumas yaitu pada 22 februari 1571 sesuai yang tertulis pada naskah Kalibening (Wawancara dengan Trimo pada 25 januari 2024).
Mataram sendiri merupakan kerajaan bawahan Pajang, dulunya Sultan Hadiwijaya melakukan sayembara barang siapa yang bisa mengalahkan Arya Penangsang maka akan diberi hadiah, lalu Ki Ageng Pemanahan berhasil mengalahkan Arya Penangsang, maka dari itu Ki Ageng Pemanahan mendapat hadiah berupa Alas Metaok yang nantinya berubah menjadi Mataram dan Ki Ageng Penagsang menyebut dirinya sebagai Ki Gede Mataram dan mengabdi kepada Kerajaan Pajang (Sujarweni, V. Wiratna, 2012: 8). Akan tetapi, setelah kematiannya Mataram dipimpin oleh anaknya yang bernama Danang Sutawijaya. Selama Mataram dipimpin olehnya, dirinya tidak mau tunduk terhadap Kerajaan Pajang sehingga Sultan Hadiwijaya menyerang Mataram akan tetapi gagal karena erupsi merapi, sekembalinya dari ekspedisi penyerangan itu, Sultan Hadiwijaya wafat sehingga momen ini dimanfaatkan oleh Danang Sutawijaya untuk mendeklarasikan dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa (Darmawijaya, 2010: 70).
Mataram ketika dipimpin oleh Panembahan Senopati memiliki basis wilayah yang hampir meliputi Jawa Tengah dan Jawa Timur setelah menaklukan Pajang, Demak, Madiun, dan Jepara. Akan tetapi, pemerintahanya banyak ditentang oleh kerajaan pesisir. Setelah Panembahan Senopati wafat digantikan oleh putranya yaitu Raden Mas Jolang yang bergelar Sri Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati Senopati Ing Ngalaga Mataram. Pada masanya, dirinya hanya mampu mempertahankan wilayahnya yang sebelumnya telah diperoleh oleh ayahnya. Setelah dirinya wafat digantikan oleh Martapura seperti yang pernah dijanjikan Prabu Hanyakrawati sebelumnya. Setelah Martapura, Mataram dipimpin oleh Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Hanyakrakusuma Senopati Ing Ngalaga Ngadurrahman yang dimana pada masanya merupakan kejayaan Mataram. Pada saat itu beliau berselisih dengan pemerintahan Hindia Belanda terutama VOC. Terbilah dirinya sudah pernah menyerang VOC dua kali yaitu pada tahun 1628 dan 1629 dan keduanya gagal (Damarwijaya, 2010: 72). Setelah beliau wafat lalu digantikan oleh anaknya yaitu Raden Mas Sayyidin yang bergelar Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau dikenal dengan Amangkurat I. Dalam pemerintahanya, dirinya malah melakukan hubungan dengan VOC yang berbanding terbalik dengan ayahnya. Dirnya juga membunuh Tumenggung Wiraguna, Pangeran Alit, dan banyak para Ulama, sehingga dalam kepemimpinanya Mataram masuk kedalam fase kemunduran yang puncaknya ialah putra mahkotanya yaitu Adipati Anom melakukan kerja sama dengan Trunojoyo untuk menentang kekuasaan Amangkurat I. Namun, dalam perkembanganya, Adipati Anom tidak bisa menghandle rencana yang telah Ia buat sehingga ketika Trunojoyo melakukan pemberontakan dirinya harus bergabung dengan ayahnya untuk melarikan diri ke barat yaitu Tegal Wangi (Rochmat, 2018: 8-14). Walaupun tujuan utamanya yaitu sebenarnya untuk menuju ke Batavia dan meminta bantuan VOC agar membantunya.
Dalam pelarianya ini, Amangkurat I singgah di Banyumas, kenapa demikian karena pastinya sebelumnya Amangkurat I telah mengetahui daerah daerah di Banyumas, karena tidak mungkin seseorang kabur dari wilayahnya akan tetapi tidak mengetahui arah jalanya kemana. Jadi, alasan Amangkurat I kabur ke wilayah Tegal Wangi dan singgah di Banyumas karena Amangkurat I sudah mengenal medan di Banyumas (Wawancara dengan Rifqy Hendi pada 14 Januari 2024). Selain karena sudah mengenal medan, Amangkurat I juga singgah di Banyumas karena menitipkan jimat pusakanya di daerah yang bernama Kalisalak, jimat pusaka itu ditinggal lantaran untuk mengurangi beban yang dibawa oleh Amangkurat I dalam perjalananya. Jimat jimat pusaka ini disimpan di langgar jimat dan setiap tanggal 12 maulud pusaka tersebut dibersihkan dan dicuci yang dikenal dengan tradisi Jamasan Pusaka (Shohifatun, 2022: 28).
Sebenarnya masih sangat banyak tempat di Banyumas yang menjadi tempat singgah Amangkurat I dalam pelarianya ini. Baik itu tempat untuk dirinya bersemedi, istirahat, menitipkan jimat pusaka dan yang lain. Akan tetapi banyak juga tempat yang tidak bisa di klaim bahwa itu peninggalan atau petilasan Amangkurat I, alasanya karena sebelum Amangkurat I memasuki tempat atau singgah di tempat tersebut, jauh sebelumnya sudah ada yang menempati tempat tersebut. Seperti contoh, di desa Karangbanar, Kebasen, disitu ada tempat yang diyakini sebagai petilasanya Amangkurat I, akan tetapi dalam sejarahnya, sebelum Amangkurat I datang ketempat tersebut sudah ada cerita yang beredar bahwa sebelumnya ada seseorang yang menempati tempat tersebut yaitu Mbah Agung. Jadi, tempat tersebut merupakan satu tempat yang memiliki dua cerita yang berbeda dan tidak dapat di klaim sebagai peninggalan Amangkurat I seutuhnya. Berbeda seperti yang berada di Kalisalak yang memang tempat tersebut merupakan tempat peristirahatan beliau dan juga jimat pusaka yang ada di langgar jimat memang miliknya, bahkan senjata senjata raja pun ada disitu (Wawawncara dengan Rifqy Hendi pada 14 Januari 2024).
Tempat tempat petilasan Amangkurat I di Banyumas terbilang cukup banyak dan hal ini juga menjadi adanya keterkaitan antara Banyumas dengan Kerajaan Mataram. Walaupun Amangkurat I dimakamkan di Tegal, akan tetapi di Banyumas tepatnya di Pekuncen daeran Pesiraman, kia dapat menemukan tempat pemandian yang diyakini sebagai pemandian jenazah Amangkurat I. Dengan hal ini, tempat ini memiliki nilai historis yang lebih dibandingkan tempat yang hanya sebagai tempat singgahnya (Wawawncara dengan Rifqy Hendi pada 14 Januari 2024). Semua petilasan yang berkaitan dengan Amangkurat I yang berada di Banyumas tidak secara keseluruhan terawat, mengingat hal tadi yang dimana dalam satu tempat memiliki dua cerita yang berbeda mengakibatkan petilasan tersebut belum tentu terawat. Akan tetapi, banyak juga petilasan yang memang benar benar dirawat sampai sekarang dan tetap mempertahankan wujud aslinya. Seperti di Kalisalak contohnya yang setiap tahunya menggelar Tradisi Jamasan Pusaka yang bertujuan merawat dan membersihkan jimat jimat pusaka milik Amangkurat I.
Di Kalisalak sendiri tepatnya di daerah yang bernama Karangbanar, terdapat sebuah makam yang diyakini sebagai pengikut dari Amangkurat I yaitu Mbah Banar Agung, beliau juga sering disebut sebagai Syaikh Sonhaji. Akan tetapi seiring berjalanya waktu, tempat tersebut diyakini kembali hanya sebagai petilasan dan makamnya diyakini berada di Imogiri. Pada saat pelarinya dengan Amangkurat I dan singgah di Banyumas tepatnya Kalisalak, beliau menempati sebuah tempat dan bermukim disitu serta tinggal untuk menyiarkan agama islam di Karangbanar. Sekarang wilayah tersebut dijadikan tempat makam orang orang yang berada di Karangbanar. Di sekeliling petilasan Mbah Banar Agung terdapat beberapa makam prajurit atau pengikutnya tetapi memiliki nama yang tak lazim, seperti Mbah Jembro, Mbah Kampil dan lain sebagainya. Komplek makam dan petilasan tersebut dihuni oleh banyak sekali monyet monyet ekor panjang yang konon ceritanaya monyet monyet tersebutv merupakan para prajurit Mbah Banar Agung yang ketika waktu sholat Jum’at mereka tidak mau melakukanya sehingga mereka dikutuk menjadi monyet. Sehingga monyet monyet tersebut tidak akan pergi dari wilayah tersebut. Namun, akhir akhir ini ternyata monyet monyet tersebut sudah sering masuk ke pemukiman untuk mencari makan, hal ini disebabkan adanya perhatian dari dinas dan serig dikasih makan, begitu pula oleh para pengunjung petilasan Mbah Banar Agung, sehingga monyet monyet di sekitaran makan menjadi malas untuk mencari makannan sendiri dan mengandalkan pemberian dari orang (Wawawncara dengan Karsam pada 25 Januaru 2024).
Kawasan petilasan Mbah Banar Agung yang memang terletak di wilayah hutan menjadikan hutan tersebut menjadihutan adat sehingga kayu kayu dan tumbuhan di dalamnya tidak boleh sembarang untuk diambil.karena menurut ceritanya dulu ada orang desa Karangbanar yang sedang hajatan, lalu ketika menanak nasi kayu yang digunakan tercampur dengan kayu yang diambil dari daerah sekitar makam. Sehingga nasi yang dimasak slama ber jam jam tidak matang matang. Apabila di sekitaran makam tersebut banyak kayunya maka hanya boleh langsung dibakar di tempat itu juga. Ada pula konon katanya di tempat tersebut sering berkeliaran ayam kelawu gendara, ayam ini diyakini sebagai pekiharaan Mbah Banar Agung semasa hidupnya. Diceritakan ayam tersebut sangat bagus dan berwarna kelawu yang semacam campuran anatara hitam dan putih serta memiliki ukuran yang besar. Tidak bisa setiap orang melihat ayam ini karena mungkin ayam ini sudah hanya berbentuk roh sehingga hanyaorang tertentu yang dapat melihatnya. Didesa ini juga dilarang memelihara ayam yang memiliki warna kelawu karena merupakan pantangan dan hukum adat yang berlaku disana. Kalau ada yang nekat maka imbasnya akan celaka nantinya (Wawancara dengan Karsam pada 25 Januari 2024).
Kembali lagi ke Kalisalak, ditempat langgar jimat juga memiliki peninggalan berupa naskah kuno yang seringkali dibaca oleh BRIN. Karena langgar jimat dibuka setahun sekali, maka dalam membaca naskah tersebut hanya dapat dilakukan satu tahun sekali. Di dalam langgar jimat juga dikatakan sebagai penanda desa tersebut, didalamnya diletakan beberapa wadah yang didalamnya berisi beberapa bulir beras, kain, air, dan lain lain. Setiap dibuka setahun sekali wadah tersebut dibuka dan bila didapati semisal bulir beras bertambah, maka diprediksi desa tersebut akan mengalami kesuburan begitu juga sebaliknya apabila malah berkurang maka akan mengalami semacam gagal panen. Jimat pusaka yang ada di dalam langgar jimat sendiri dibungkus dengan kain kafan yang sudah sangat lama tidak diganti sehinggar warnanya sudah menguning dan mulai lapuk, tidak diganti karena memang untuk menjaga keaslian dari sejarah yang telah lalu dibuat (Wawancara dengan Karsam pada 25 Januari 2024).
Daftar Pustaka
Sujarweni,V. Wiratna, Yogyakarta: Episode Jejak Jejak Mataram Islam, Yogyakarta : Global Media Informasi tahun 2012
Darmawijaya. (2010). Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pustaka Al Kautsar.
Santoso, Rochmat Gatot. 2016. “Kebijakan Politik Dan Sosial Ekonomi Di Kerajaan Mataram Islam Pada Masa Pemerintahan Amangkurat I (1646-1677)” dalam Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta.
Arifin, Shohifatun Nur. 2022. “Nilai Nilai Dalam Tradisi Penjamasan Jimat Di Desa Kalisalak Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas”. Skripsi. Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto.
Wawancara dengan Rifqy Handi di Banaran, Pasir Kidul pada 14 Januari 2024
Wawancara dengan Pak Trimo di makam Mbah Kalibening pada tanggal 25 Januari 2024
Wawancara dengan Pak Karsam di makam Mbah Banar Agung di desa Karangbanar pada 25 Januari 2024.